BAB
II
PEMBAHASAN
A.
INSEMINASI BUATAN MENURUT HUKUM ISLAM
Bayi
Tabung merupakan salah satu masalah kontemporer dan
aktual yang masih banyak dipertanyakan status hukumnya, sehingga perlu ada
penjelasan secukupnya. Bayi tabung
ini mencuat ke permukaan karena adanya keinginan dari banyak pasangan suami
istri karena satu hal dan yang lainnya yang tidak bisa mempunyai keturunan,
sedang mereka sangat merindukannya, dan bayi tabung ini adalah salah satu alternatif yang bisa ditempuh
untuk mewujdkan impian mereka tersebut.
Enseminasi
buatan adalah: proses yang dilakukan oleh para dokter untuk menggabungkan
antara sperma dengan sel telur, seperti dengan cara menaruh keduanya di dalam
sebuah tabung, karena rahim yang dimiliki seorang
perempuan tidak bisa berfungsi sebagaimana biasanya. (DR. Husen Muhammad Al
Malah). Yang perlu diperhatikan terlebih dahulu bagi yang ingin mempunyai anak
lewat bayi tabung, bahwa cara ini
tidak boleh ditempuh kecuali dalam keadaan darurat, yaitu ketika salah satu
atau kedua suami istri telah divonis tidak bisa mempunyai keturunan secara
normal (Ali bin Nayif As Syahud).
Menurut sejumlah ahli,
inseminasi buatan atau bayi tabung
secara garis besar dibagi menjadi dua menurut al-Majma' al-Fiqhi al-
Islami :
1.
Pembuahan di dalam rahim.
Bagian pertama ini dilakukan dengan dua cara: Cara
pertama : Sel sperma laki-laki diambil, kemudian disuntikan pada tempat
yang sesuai dalam rahim sang istri sehingga sel sperma tersebut akan bertemu
dengan sel telur istri kemudian terjadi pembuahan yang akan menyebabkan
kehamilan. Cara seperti ini dibolehkan oleh Syari'ah, karena tidak terjadi
pencampuran nasab dan ini seperti kehamilan dari hubungan seks antara suami dan
istri.Cara kedua : Sperma seorang laki-laki diambil, kemudian
disuntikan pada rahim istri orang lain, atau wanita lain, sehingga terjadi
pembuahan dan kehamilan. Cara seperti ini hukum haram, karena akan terjadi
percampuran nasab.Kasus ini serupa dengan adanya seorang laki-laki yang berzina
dengan wanita lain yang menyebabkan wanita tersebut hamil.
2.
Pembuahan di luar rahim.
Bagian kedua ini dilakukan dengan lima cara : Cara pertama : Sel sperma
suami dan sel telur istrinya diambil dan dikumpulkan dalam sebuah tabung agar terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasil
pembuahan tadi dipindahkan ke dalam rahim istrinya yang memiliki sel telur
tersebut Hasil pembuahan tadi akan berkembang di dalam rahim istri tersebut,
sebagaimana orang yang hamil kemudian melahirkan ana yang dikandungnya. Bayi tabung dengan proses seperti di atas
hukumnya boleh, karena tidak ada percampuran nasab. Cara kedua : Sel sperma
seorang laki-laki dicampur dengan sel telur seorang wanita yang bukan istrinya
ke dalam satu tabung dengan tujuan terjadinya pembuahan.
Setelah itu, hasil pembuahan tadi dimasukkan ke dalam rahim istri laki-laki
tadi. Bayi tabung dengan cara
seperti ini jelas diharamkan dalam Islam, karena akan menyebabkan tercampurnya
nasab. Cara ketiga : Sel sperma seorang laki-laki dicampur dengan sel
telur seorang wanita yang bukan istrinya ke dalam satu tabung
dengan tujuan terjadinya pembuahan. Setelah itu, hasil pembuahan tadi
dimasukkan ke dalam rahim wanita yang sudah berkeluarga. Ini biasanya dilakukan
oleh pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak, tetapi rahimnya masih bia
berfungsi. Bayi tabung dengan
proses seperti ini jelas dilarang dalam Islam. Cara keempat : Sel sperma suami dan sel
telur istrinya diambil dan dikumpulkan dalam sebuah tabung
agar terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasil pembuahan tadi
dipindahkan ke dalam rahim seorang wanita lain. Ini jelas hukumnya haram.
Sebagian orang menamakannya " Menyewa Rahim ". Cara kelima : Sperma
suami dan sel telur istrinya yang pertama diambil dan dikumpulkan dalam sebuah tabung agar terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasil
pembuahan tadi dipindahkan ke dalam rahim istri kedua dari laki-laki pemilik
sperma tersebut. Walaupun istrinya pertama yang mempunyai sel telur telah rela
dengan hal tersebut, tetap saja bayi tabung
dengan proses semacam ini haram. hal itu dikarenakan tiga hal :
1)
Karena bisa saja istri kedua yang
dititipi sel telur yang sudah dibuahi tersebut hamil dari hasil hubungan seks
dengan suaminya, sehingga bisa dimungkinkan bayi yang ada
di dalam kandungannya kembar, dan ketika keduanya lahir tidak bisa dibedakan
antara keduanya, tentunya ini akan menyebabkan percampuran nasab yang dilarang
dalam Islam.
2)
Seandainya tidak terjadi bayi kembar, tetapi bisa saja sel telur dari istri pertama mati
di dalam rahim istri yang kedua, dan pada saat yang sama istri kedua tersebut
hamil dari hubungan seks dengan suaminya, sehingga ketika lahir, bayi tersebut tidak diketahui apakah dari istri yang pertama
atau istri kedua.
3)
Anggap saja kita mengetahui bahwa
sel telur dari istri pertama yang sudah dibuahi tadi menjadi bayi dan lahir dari rahim istri kedua, maka masih saja hal
tersebut meninggalkan problem, yaitu siapakah sebenarnya ibu dari bayi tersebut, yang mempunyai sel telur yang sudah dibuahi
ataukah yang melahirkannya ? Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban. Dalam
hal ini Allah swt berfirman : " Ibu-ibu
mereka tidaklah lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka " (
Qs Al Mujadilah : 2 )
Kalau kita
mengikuti bunyi ayat di atas secara lahir, maka kita akan mengatakan bahwa ibu
dari anak yang lahir tersebut adalah istri kedua dari laki-laki tersebut,
walaupun pada hakekatnya sel telurnya berasal dari istrinya yang pertama. Dari
ketiga alasan di atas, bisa disimpulkan bahwa proses pembuatan bayi
tabung yang sel telurnya berasal dari istri pertama dan
dikembangkan dalam rahim istri kedua, hukumnya tetap haram karena akan
menyebakan percampuran nasab sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Dengan
demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus
diklasifikasikan persoalannya secara jelas, setidaknya dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
1.
Bila
dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara
mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau
uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya
(vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal
keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk
membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai
dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau kebutuhan
yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat). Hukumnya haram bila
sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang
bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother).
Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi
antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang
telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demi¬kian pula haram hukumnya
bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel
telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam
rahim isteri.
2.
Sebaliknya,
kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum,
maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak
hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang
melahirkannya.
Diantara dalil-dalil syar’i yang dapat
dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah:
Pertama : firman Allah SWT : Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan
anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan. (Q.S. Al-Isro : 70).
Kedua : firman Allah SWT : Sesungguhnya Kami Telah Menciptakan Manusia
Dalam Bentuk Yang Sebaik-Baiknya.(Q.S. At-Tin : 4).
Kedua
ayat tersebuti menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk
yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan
lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya
manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama
manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat
merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
diinseminasi. Sebagiman hadits Nabi Saw yang
mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang
lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan
seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain.
Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil.
Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum
kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam
mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita
tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.
Hadits
ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada
manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab
bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Thaha:53. Juga bisa
berarti benda cair atau sperma seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6. Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam,
sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah
diharamkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, proses bayi tabung hendaknya
dilakukan dengan memperhatikan nilai moral Islami dan tetap harus menjunjung
tinggi etika dan kaedah-kaedah syariah.
B.
ADOPSI DAN STATUS HUKUM ANAKNYA
Pasangan suami
istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak
dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga
bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam
perkawinan. Ada
langkah-langkah tepat
yang harus diambil agar anak angkat tersebut mempunyai kekuatan hukum, di antaranya :
yang harus diambil agar anak angkat tersebut mempunyai kekuatan hukum, di antaranya :
1.
Pihak yang
dapat mengajukan adopsi
1)
Pasangan
Suami Istri.
Ketentuan
mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983
tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan
pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No.
41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak
juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua
angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak,
sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi
calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
2) Orang tua tunggal
a.
Staatblaad 1917
No. 129. Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan
anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh
Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda
atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami
meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda
tersebut tidak dapat melakukannya.Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini
hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte
Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta)
tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan.
b.
Surat
Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983. Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga
Negara Indonesia
(WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara
orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang
pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang
tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent
adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak
menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda
untuk melakukannya.
2.
Tata cara
mengadopsi
Surat
Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak
menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan
permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang
akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau
tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh
pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan
dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
3.
Isi
permohonan
Adapun
dalam isi Permohonan yang dapat diajukan oleh orang tua yang ingin mengadopsi
anak adalah:
1)
Motivasi mengangkat anak, yang
semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
2)
penggambaran kemungkinan kehidupan
anak tersebut di masa yang akan datang.
Untuk
itu dalam setiap proses pemeriksaan, Anda juga harus membawa dua orang saksi
yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu
harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi anda (baik moril maupun
materil) dan memastikan bahwa Anda akan betul- betul memelihara anak tersebut
dengan baik.
4.
Yang
dilarang dalam permohonan
1)
Menambah permohonan lain selain
pengesahan atau pengangkatan anak.
2)
pernyataan bahwa anak tersebut
juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.
Mengapa? Karena
putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada
permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak
angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja.Mengingat bahwa Pengadilan
akan mempertimbangkan permohonan Anda, maka Anda perlu mempersiapkan segala
sesuatunya dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan
dengan kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan
keyakinan kepada majelis hakim tentang kemampuan Anda dan kemungkinan masa
depan anak tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat
Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.
5.
Pencatatan
di kantor Catatan Sipil
Setelah
permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan
Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda
bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte
kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi
dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.
6.
Akibat
hukum pengangkatan anak
1)
Perwalian
Dalam
hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat
menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan
kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak
angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi
wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
2) Waris
Khazanah
hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki
ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya
seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan
bagi anak angkat.
7.
Hukum Adat
Bila
menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada
hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—,
pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu
dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari
orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya.
Berbeda dengan di Bali , pengangkatan anak
merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya
ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang
mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H,
Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
8.
Hukum
Islam
Dalam
hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan
darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat.
Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap
memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, SH)
9.
Peraturan
Per-Undang-undangan
Dalam
Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak
tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak
yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang
tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan
perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang
tua kandung dan anak tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar