Minggu, 02 Desember 2012


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan luar sekolah sebenarnya bukanlah barang baru dalam khasanah budaya dan peradaban manusia. Pendidikan luar sekolah telah hidup dan menyatu didalam kehidupan setiap masyarakat jauh sebelum muncul dan memasyarakatnya sistem persekolahan.
PLS mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di pendidikan persekolahan. PLS timbul dari konsep pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan / pendidikan formal saja. PLS pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu.
Berbagai kelemahan sistem persekolahan dimuntahkan, terutama pada aspek-aspek prosedural yang dinilai mengeras, kaku, serba ketat dan formalistis. Pada intinya, walaupun sistem persekolahan masih tetap dipandang penting, pijakan pemikiran sudah mulai realistis yaitu tidak semata-mata mengandalkan sistem persekolahan untuk melayani aneka ragam kebutuhan pendidikan yang kian hari semakin mekar dan beragam. Pembinaan dan pengembangan PLS dipandang relevan untuk bisa saling isi-mengisi atau topang menopang dengan sistem persekolahan, agar setiap insan bisa menyesuaikan hidupnya sesuai dengan perkembangan zaman.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian pendidikan luar sekolah?
2.      Bagaimana asal-usul pendidikan luar sekolah?
3.      Bagaimana sejarah pendidikan luar sekolah?
4.      Apa faktor pendukung pendidikan non formal?
5.      Apa karakteristik pendidikan luar sekolah?
C.    Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian pendidikan luar sekolah
2.      Mengetahui asal-usul pendidikan luar sekolah
3.      Mengetahui sejarah pendidikan luar sekolah
4.      Mengetahui faktor pendukung pendidikan non formal
5.      Mengetahui karakteristik pendidikan luar sekolah

D.    Metode Penulisan
Dalam penulisannya, penyusun menggunakan beberapa sumber baik sumber media cetak maupun media elektronik seperti internet dengan harapan mampu memberikan tambahan pengetahuan.
  
 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah seperti yang dikutip dari blog budak cirembai adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.
Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang dilaksanakan diluar pendidikan formal untuk warga belajar agar mereka memperoleh suatu keterampolan dalam hidupnya. Yang dikutip dari blog di internet.
Philip H. Combs yang di kutip dari blog fida nurlaili mengungkapkan bahwa pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang di selenggarakan di luar system formal, baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan pada sasaran didik tertentu dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Jadi pendidikan luar sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah diluar sekolah, dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan, maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.

B.     Asal usul Pendidikan Luar Sekolah
Kegiatan pendidikan, walaupun dalam bentuknya yang paling sederhana, yang kini dikenal dengan istilah pendidikan luar sekolah, telah hadir di dunia ini sama tuan ya dengan kehadiran  manusia  yang  berinteraksi  dengan  lingkungan  di  muka  bumi  ini. Setelah  jumlah  manusia  makin    berkembang,  situasi  pendidikan  ini  muncul  dalam kehidupan  kelompok  dan  masyarakat.  Kegiatan pendidikan  dalam  kelompok  dan masyarakat telah dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum pendidikan sekolah lahir di dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang di ungkapkan Prof. H. D. Sudjana S., S.pd., M.Ed., PhD. Dalam bukunya “pendidikan luar sekolah” menjelaskan bahwa asal ususl pendidikan luar sekolah tidak lepas dari 3 (tiga) pengaruh yaitu :
a.       Pengaruh Pendidikan Informal
Pada waktu permulaan kegadirannya, pendidikan luar sekolah dipengaruhi oleh pendidikan informal, yaitu kegiatan yang terutama berlangsung dalam keuarga. Di dalam kehidupan keluarga ini  terjadi interaksi antar orang tua, antara orang tua dengan anak, dan antara anak dengan anak. Pola-pola transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai dan kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua terhadap  anaknya pada dalam kehidupan kelompok, misalnya keterampilan bercocok tanam atau membuat  peralatan sederhana yang biasa digunakan. Cara- cara seperti itu digunakan pula oleh kepala suku atau kepala adat terhadap warganya atau oleh ketua tani terhadap para petani.
b.      Pengaruh Tradisi di Masyarakat
Dalam masyarakat terdapat tradisi dan adat istiadat yang  mendorong penduduk untuk belajar,  berusaha, dan bekerjasama atas dasar nilai-nilai budaya dan moral yang dianut oleh masyarakat itu.  Seperti pesan orang tua kepada anak-cucunya: “Tuntutlah ilmu, carilah harta, jauhilah perilaku yang tidak baik . Tutur kata yang lain diantaranya: “Berpikirlah sejak kecil, belajar sejak kanak-kanak, untuk bekal di masa dewasa, teruslah berikhtiar dengan sabar dan tawakal, berhematlah, aturlah rejeki sehingga tatkala sedikit dapat mencukupi dan tatkala tidak banyak tapi bersisa.  Pesan lain adalah “Hidup harus banyak teman, untuk saling menolong dan saling menitipkan diri; budi dan akal diperoleh dari sesama insan. Pesan yang terkandung didalam tutur kata tersebut mendorong penduduk untuk melakukan kegiatan belajar, berusaha, dan bekerjasama di dalam masyarakat. Pesan itu pun memberi makna bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian kehidupan manusia yang harus dilakukan oleh setiap warga masyarakat.
c.       Pengaruh Agama
Kehadiran agama dakam kehidupan bermasyarakat lebih melandasi lagi perkembangan  pendidikan  luar  sekolah.  Belajar  membaca  kitab  suci,  kaidah-kaidah agama,  tata cara sembahyang,  yang  pada  umumnya  dilakukan  di  tempat-tempat peribadatan, merupakan  kegiatan belajar mengajar yang mendasari situasi pendidikan luar sekolah.
Dalam perkembangan  selanjutnya, agama memberikan motivasi kepada masyarakat bahwa belajar itu merupakan kewajiban  bagi setiap pemeluk agama, dan kegiatan belajar dilakukan di dalam dan terhadap lingkungan  kehidupannya. Sebagai ilustrasi, Agama Islam memberikan dorongan kuat agar pemeluknya senantiasa belajar. Belajar ialah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah untuk dilakukan oleh setiap orang. Syarat utama yang perlu dimiliki oleh setiap individu untuk melakukan kegiatan belajar adalah kemampuan membaca. Oleh sebab itulah, wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, untuk disampaikan kepada manusia, adalah perintah untuk membaca.“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan  (Q.S. Al-¾Alaq, ayat 1).
Dalam makna yang lebih luas, perintah membaca ini mendorong agar manusia menelaah petunjuk Tuhan yang tercantum dalam Kitab Suci, sebagai pedoman hidup di dunia  ini,    mengkaji    alam    dan    lingkungan    kehidupan    sebagai ciptaan-Nya,    dan menggunakan petunjuk Tuhan itu dalam berinteraksi dengan lingkungan kehidupannya. Berdasarkan makna ini maka kemampuan membaca adalah prasyarat yang sangat penting dalam kegiatan belajar untuk memperoleh  ilmu pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dengan demikian, kegiatan belajar memiliki motivasi  ibadah  yaitu untuk melakukan kewajiban yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Kewajiban  umat  untuk  belajar  ini  dipertegas  oleh  Rasulullah  SAW dalam hadistnya:    “Menuntut  ilmu  adalah  wajib  bagi  setiap  Muslim  pria  dan wanita. “Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian sampai masuk ke liang kubur . Secara singkat dapat dipahami bahwa belajar adalah kewajiban  yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam selama hidupnya.
Menurut  agama,  belajar  adalah  kunci  utama  untuk  mencapai  kemajuan  dan kebahagiaan. Belajar, dalam pengertian ini adalah proses pencarian dan penguasaan ilmu untuk diterapkan dalam kehidupan.
Motivasi  agama  bagi  manusia,  untuk  mengembangkan  kemampuan  berpikir dalam  mengolah potensi alamini telah ditegaskan oleh Allah SWT: “Dan Dia (Allah) menundukkan  untukmu  segala  sesuatu  yang  ada  di  langit  dan  di  bumi  semuanya, (sebagai suatu rahmat) dari pada-Nya.  Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berpikir  (Q.S. Al- Jatsiyah, 14). Dan berbagai perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir  (Q.S. Al-Hasyr, 21)
Dalam mengembangkan kemampuan manusia di masa dating agama memberi motivasi untuk  mengantarkan mereka guna memasuki ruang dan waktu yang berbeda dengan yang dialami saat ini.  Untuk mengantarkan ke dalam kehidupan masa depan itu, peranan    pendidikan    ialah    untuk    membelajarkan    manusia terhadap    kemungkinan- kemungkinan yang akan dihadapinya di masa yang akan datang. Rasulullah SAW telah memberi  petunjuk:  “Belajarkanlah  anak-anakmu karena  mereka    adalah  makhluk, ciptaan Tuhan, yang akan memasuki jaman yang berbeda dengan keadaan jamanmu sekarang. Petunjuk ini menegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah untuk membantu manusia dalam mengembangkan kemampuan  fungsional yang  diperlukan dalam kehidupan masa depan.
Berdasarkan  beberapa  Hadits  tersebut  pendidikan  hendaknya  dilandasi  oleh kaidah-kaidah agama sehingga terjadi motivasi belajar yang bertujuan untuk memperoleh pahala dari Tuhan Yang maha Pemurah dan Maha Penyayang dengan cara menunaikan kewajiban menuntut ilmu dan untuk  meningkatkan taraf hidup dan kehidupan di dunia dan mencapai kebahagiaan dalam kehidupan abadi di akhirat.

C.    Sejarah Pendidikan luar Sekolah
Sejarah terbentuknya pendidikan luar sekolah (PLS) tidak bisa lepas dari lima aspek yaitu:
a.       Aspek pelestarian budaya
Pendidikan yang pertama dan utama adalah pendidikan yang terjadi dan berlangsung di lingkungan keluarga dimana (melalui berbagai perintah, tindakan dan perkataan) ayah dan ibunya bertindak sebagai pendidik. Dengan demikian pendidikan luar sekolah pada permulaan kehadirannya sangat dipengaruhi oleh pendidikan atau kegiatan yang berlangsung di dalam keluarga. Di dalam keluarga terjadi interaksi antara orang tua dengan anak, atau antar anak dengan anak. Pola-pola transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai dan kebiasaan melalui asuhan, suruhan, larangan dan pembimbingan.
Pada dasarnya semua bentuk kegiatan ini menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik. Semua bentuk kegiatan yang berlangsung di lingkungan keluarga dilakukan untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan praktis di masyarakat dan untuk meneruskan warisan budaya yang meliputi kemampuan, cara kerja dan Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Jadi dalam keluarga pun sebenarnya telah terjadi proses-proses pendidikan, walaupun sistem yang berlaku berbeda dengan sistem pendidikan sekolah. Kegiatan belajar-membelajarkan yang asli inilah yang termasuk ke dalam kategori pendidikan tradisional yang kemudian menjadi pendidikan luar sekolah.
b.      Aspek teoritis
Salah satu dasar pijakan teoritis keberadaan PLS adalah teori yang diketengahkan Philip H. Cooms dalam H. D. Sudjana (2000:82), tidak satupun lembaga pendidikan: formal, informal maupun nonformal yang mampu secara sendiri-sendiri memenuhi semua kebutuhan belajar minimum yang esensial. Atas dasar teori di atas dapat dikemukakan bahwa, keberadaan pendidikan tidak hanya penting bagi segelintir masyarakat tapi mutlak diperlukan keberadaannya bagi masyarakat lemah (yang tidak mampu memasukan anak-anaknya ke lembaga pendidikan sekolah) dalam upaya pemerataan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas hasil belajar dan mencapai tujuan pembelajaran yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
c.       Dasar Pijakan
Ada tiga dasar pijakan bagi PLS sehingga memperoleh legitimasi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yaitu: UUD 1945, Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 dan peraturan pemerintah RI No.73 tahun1991 tentang pendidikan luar sekolah. Melalui ketiga dasar di atas dapat dikemukakan bahwa, PLS adalah kumpulan individu yang menghimpun dari dalam kelompok dan memiliki ikatan satu sama lain untuk mengikuti program pendidikan yang diselenggarkan di luar sekolah dalam rangka mencapai tujuan belajar. Adapun bentuk-bentuk satuan PLS., sebagaimana diundangkan di dalam UUSPN tahun 1989 pasal 9:3 meliputi: pendidikan keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan sejenis. Satuan PLS sejenis dapat dibentuk kelompok bermain, penitipan anak, padepokan persilatan dan pondok pesantren tradisional.
d.      Aspek kebutuhan terhadap pendidikan
Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan tidak hanya pada masyarakat daerah perkotaan, melainkan masyarakat daerah pedesaan juga semakin meluas. Kesadaran ini timbul terutama karena perkembangan ekonomi, kemajuan iptek dan perkembangan politik. Kesadaran juga tumbuh pada seseorang yang merasa tertekan akibat kebodohan, keterbelakangan atau kekalahan dari kompetisi pergaulan dunia yang menghendaki suatu keterampilan dan keahlian tertentu. Atas dasar kesadaran dan kebutuhan inilah sehingga terwujudlah bentuk-bentuk kegiatan kependidikan baik yang bersifat persekolahan ataupun di luar persekolahan.
e.       Keterbatasan lembaga pendidikan sekolah
Lembaga pendidikan sekolah yang jumlahnya semakin banyak bersifat formal atau resmi yang dibatasi oleh ruang dan waktu serta kurikulum yang baku dan kaku serta berbagai keterbatasan lainnya. Sehingga tidak semua lembaga pendidikan sekolah yang ada di daerah terpencilpun yang mampu memenuhi semua harapan masyarakat setempat, apalagi memenuhi semua harapan masyarakat daerah lain. Akibat dari kekurangan atau keterbatasan itulah yang memungkinkan suatu kegiatan kependidikan yang bersifat informal atau nonformal diselenggarakan, sehingga melalui kedua bentuk pendidikan itu kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.

D.    Faktor Pendorong Perkembangan Pendidikan Nonformal
Dalam perkembangan selanjutnya pendidikan luar sekolah di dukung oleh tiga factor yaitu : para praktisi di masyarakat, pengkritikan terhadap pendidikan sekolah, dan para perencana pendidikan untuk pembangunan di tingkat internasional. Ketiga factor ini, sangat berpengaruh positif terhadap perkembangan pendidikan luar sekolah.
a.       Para Praktisi di Masyarakat
Para praktisi pada umumnya terdiri atas para pemuda terdidi, pemuka masyarakat, pimpinan organisasi, guru-guru sekolah dan tenaga sukarela lainnya. Denagn tujuan untuk memberi kesempatan pendidikan kepada masyarakat, menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dan menumbuhkan hasrat dan partisifasi masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bangsa. Kegiatan para praktisi di masyarakat ditandai dengan adanya sekian banyak pelaksana yang secara sukarela melakukan kegiatan pendidikan dalam upaya membantu masyarakat untuk melepaskan diri dari ketinggalan.
b.      Berkembangnya Kritik terhadap Pendidikan Formal
Gejala-gejala yang mennjukan adanya krisis pendidikan formal yaitu ketidakcocokan antara kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan nyata peserta didik, ketidaksesuaian antara pendidikan dengan perkembangna kebutuhan masyarakat, ketidakseimbangan yang terus menerus antara pendidikan dandunia kerja, ketidakmampuan lembaga pendidikan formal untuk memberi kesempatan pemerataan pendidikan bagi semua kelompok di masyarakat, dan meningkatnya biaya penyelenggaraan pendidikan formal yabg tidak diimbangi oleh kemampuan negara terutama negara sedang berkembang untuk membiayainya. Dengan demikian, pendidikan nonformal menderita kelemahan dalam mengimbangi kecepatan perubahan yang terjadi di luar pendidikan.
a)      Philip H. Coombs (1963)
Philip H. Coombs mengatakan, akibat pertambahan penduduk yang mekin pesat untuk memperoleh kesempatanm pendidikan sehingga menyebabkan beban yang harus dipikul oleh pendidikan formal semakin berat, sumber-sumber yang digunakan untuk pendidikan kurang memadai sehingga pendidikan formal mengalami hambatan untuk merspon secara tepat terhadap pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, kelambatan system pendidikan formal untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di luar pendidikan serta kelemahan masyarakat tersendiri dalam memanfaatkan lembaga dan lulusan pendidikan formal sehingga jurang perbedaan antara jumlah dan para lulusan dan jumlah lapangan kerja makin bebas.
b)      Ivan Illich (1972)
Ivan Illich (1972) megatakan, sekolah memonopoli pendidikan dan lebihmenitikberatkan produknya berupa lulusan yang hanya didasarkan atas hasil penelitian dengan menggunakan angka-angka dan ijazah, mengaburkan makna belajar dan mengajar, jenjang pendidikan dan tingkat kemampuan serta pemilikan ijazah dan kemampuan lulusan untuk berprestasi dan berinovasi, proses pendidikan dinominasi oleh guru dan pada gilirannya merampas harga diri peserta didik yang akan mengakibatkan lemahnya ketahanan pribadi peserta didik (kurangnya sikap kreatif dan kritis serta adanya rasa ketidakbebasan untuk mengembangkan kemampuan diri sesuai dengan potensi yang mereka miliki) serta tumbuhnya ketergantungan peserta didik kepada pihak lain yang dianggap lebih berkuasa.
c)      Paulo Freire
Paulo Freire mengatakan, sepanjang adanya kelompok yang menekan dan kelompok yang merasa tertekan dalam suatu masyarakat yang tidak mungkin bisa berkembang secara demokratis, kreatif dan dinamis, ketidakberhasilan sekolah untuk mengembangkan situasi pembelajaran yang memberi kemampuan kepada peserta didik untuk berpikir kritis sehinghga mereka dapat mengenali, menganalisis dan memecahkan masalah yang timbul dalam dunia kehidupannya, situasi pembelajaran di sekolah pada umumnya tidak mengembangkan dialog antara pendidik dan peserta didik, tidak saling belajar dan sekolah lebih menekankan hubungan vertical antara guru dan dosen serta belajar mengajar di sekolah lebih didominasi oleh guru yang cenderung berperan sebagai penekan (oppressor) sedangkan peserta didik cenderung berada dalam situasi tertekan (oppressed).
d)     Carl Rogers (1961)
Carl Rogers mengatakan, bahwa proses pembelajaran pendidikan nonformal berpusat pada guru
e)      Abraham H. Maslaw (1954)
Abraham H. Maslaw mengatakan, bahwa tarap kehidupan peserta didik akan terus meningkat apabila dalam dirinya telah berkembang kemampuan untuk mengenali kenyataan diri melalui interaksi dengan lingkungan melalui penggunaan cara-cara baru.
f)       Jerome S. Bruner (1966)
Jerome S. Bruner mengatakan, adanya dorongan yang tumbuh dari dalam diri peserta didik, adanya kebebasan peserta didik untuk memilih dan berbuat dalam kegiatan belajar, serta peserta didik tidak merasa terikat oleh pengaruh ganjaran dan hukuman yang datang dari luar dirinya yaitu dari guiru.
g)      B. F. Skinner (1968)
B. F. Skinner mengatakan, bahwwa pada umumnya kegiatan pembelajaran yang dilakukan dalam pendidikan tidak didasarkan atas perkembangan lingkungan, kegiatan pembelajaran lebih didominasi oleh pendidik dan bukan oleh bahan dan cara belajar, serta peserta didik dan lulusan kurang tangkap terhadap kenyataan dan masalah yang terdapat dalam lingkungannya.
h)      Malcolm S. Knowles (1977)
Malcolm S. Knowles menggabungkan teori psikologi dan pendekatan sistem untuk mengembangkan proses pembelajaran dan beranggapan bahwa, setiap peserta didik memiliki kebutuhan psikologi untuk mengarahkan diri supaya diakui oleh masyarakat, kegiatan belajar yang tepat ialah kegiatan yang melibatkan setiap peserta didik untuk alternative jawaban terhadap pertanyaan atau masalah, peserta didik dapat mengarahkan dirinya sendiri untuk menemukan dan melakukan kegiatan yang tepat dalam memenuhi kebutuhan belajarnya. Faktor penyebabnya dikarenakan oleh sikap kaku yang terdapat pada pendidikan formal itu sendiri yang lamban untuk melakukan inovasi atau menyerap hal-hal yang baru datang dari luar sistemnya, orientasi terhadap pendidikan terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh birokrat atas lebih kuat dibandingkan dengan orientasinya terhadap kenyataan yang terdapat di luar system termasuk ke dalam kepentingan kehidupan para siswa
c.       Para Perencana Pendidikan untuk Pembangunan
a)      Masalah Pendidikan di Negara Berkembang
Masalah pendidikan yang berkaitan dengan kependudukan, yaitu: Anak usia prasekolah yang banyak jumlahnya, banyak usia anak sekolah dasar yang tidak tertampung oleh lembaga pendidikan formal yang ada, besarnya jumlah orang dewasa yang tidak mempunyai kesempatan mengikuti pendidikan formal, besarnya angka putus sekolah, besarnya jumlah lulusan suatu jenjang pendidikan yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
b)      Arah Pembangunan di Negara yang Sedang Berkembang
Pendidikan nonformal memberi dukungan terhadap pembangunan pedesaan karena program-programnya yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan belajar penduduk pedesaan, memotovasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan, menumbuhkan inovasi karena sifatnya, menggunakan sumber-sumber yang terdapat di masyarkat setempat, menjadi forum saling kegiatan belajar bagi masyarakat, mendorong terjadinya komunikasi antar lembaga pemerintah, lembaga swadaya dan pihak-pihak lain yang bergerak dalam kegiatan pendidikan nonformal dan pembangunan masyarakat, lebih murah biaya penyelenggaraannya dibandingkan dengan biaya pengeluaran pendidikan formal.
c)      Pendekatan Pendidikan Nonformal terhadap Pembangunan
Pendekatan yang dugunakan pendidikan nonformal terhadap pembangunan ialah pendekatan fungsional. Pendekatan tersebut mengarahkan program-program pendidikan, terutama pelatihan keterampilan untuk mendukung pengembangan fungsi-fungsiekonomi di masyarakat. Tujuh kelompok program pendidikan nonformal meliputi: pendidikan dasar (pemberantakan tuna aksara, motivasi dan orientasi pembangunan) bagi pemuda dan orang dewasa di pedesaan, pendidikan umum yang berorientasi pada dunia kerja dan latihan kerja di sekitar pertanian dan non-pertanian bagi anak-anak putus sekolah dasar dan pemuda, pendidikan keluarga (kesehatan dan gizi keluarga,ekonomi keluarga, keluarga berencana dan sebagainya) bagi kaum ibu dan wanita remaja di pedesaan, latihan usaha tani bagi orang dewasa dan pemuda di pedesaan, latihan produktif di sekitar sektor pertanian bagi mereka yang belum dan telah bekerja atau berusaha, latihan kewirausahaan dan pengelola usaha bagi para usahawan kecil, pemuda, dan pemuda yang belum bekerja, latihan kepemimpinan bagi kepala desa dan staf, pimpinan organisasi pemuda dan wanita serta petugas dan kader pembangunan masyarakat desa.
d)     Perluasan Perencanaan Pendidikan untuk Pembangunan
Para perencana pendidikan untuk pembangunan mulai memperluas jangkauan dari pendekatan perencanaan yang berorientasi internasional kepada pendekatan perencanaan yang bercorak regional, nasional dan daerah.
e)      Model-model pendidikan nonformal untuk Pembangunan
Pendidikan nonformal sebagai pelengkap pendidikan formal dianut oleh pakar dan perencana pendidikan untuk pembangunan yang beradadi negara industri, pendidikan nonformal yang pararel dengan pendidikan formal dianut oleh Philip H. Coomb dan Lyra Srinivasan menekankan bahwa kedua jalur pendidikan tersebut berjalan berdampingan dan salaing menunjang antara yang satu dengan yang lainnya, pendidikan nonformal sebagai alternative bagi pendidikan formal dianut oleh Paulo Freire, Saul Alnsky, dan jalur Nyrere. Alasan untuk menunjang kebebasan pendidikan nonformal untuk mengembangkan system dan programnya yaitu memantapkan peranannya sebagai pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan serta mengembangkan kemampuan masyarakat dan meningkatkan kepercayaan masyarakat akan kemampuannya sendiri.
Pendidikan Nonformal dan Peningkatan Mobilitas Pendidikan nonformal dipandang sebagai upaya alternative untuk memberikan kesempatan peningkatan status kehidupan bagi masyarakat Melalui pendidikan nonformal penduduk miskin dapat mempelajari keterampilan kerja dan usaha sehingga menjadi lebih produktif dan dapat meningkatkan status social ekonomi di dalam masyarakat, untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pembangunaan ekonomi baik di pedesaan maupun di perkotaan, berkembangnya pendidikan nonformal yang berkaitan dengan pembangunan pedesaan, pendidikan nonformal yang berkaitab dengan pembinaan kesatuan dan berpolitik didasarkan atas kesulitan dalam mengembangkan identitas bahasa dan budaya bersama.
Strategi Kebijakan Pendidikan Nonformal dalam Pembangunan Pendidikan nonformal berintegrasi dengan kegiatan-kegiatan lembaga lain, mengembangkan keterkaitan dengan pendidikan formal, meningkatkan peranannya dalam membelajarkan masyarakat miskin. Pendidikan Nonformal Berorientasi pada Kewirausahaan Pendidikan nonformal dapat membina dan mengembangkan kewirausahaan melalui mengintegrasikan materi pembelajaran kewirausahaan ke dalam kurikulum satuan jenis nonformal, kewirausahaan menjadi program pendidikan tersendiri. Wirausaha adalah orang yang mampu mengantidipasi peluang usaha, mengelola SDM guna meningkatkan keuntungan dan bertindak tepat menuju sukses.

E.     Karakteristik Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah (bahasa InggrisOut of school education) adalah pendidikan yang dirancang untuk membelajarkan warga belajar agar mempunyai jenis keterampilan dan atau pengetahuan serta pengalaman yang dilaksanakan di luar jalur pendidikan formal(persekolahan). Oleh karena itu maka pendidikan luar sekolah (PLS) memiliki katakteristik sebagai berikut :
a.       Pendidikan Luar Sekolah sebagai Subtitute dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dapat menggantikan pendidikan jalur sekolah yang karena beberapa hal masyarakat tidak dapat mengikuti pendidikan di jalur persekolahan (formal). Contohnya: Kejar Paket A, B dan C
b.      Pendidikan Luar Sekolah sebagai Supplement pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk menambah pengetahuan, keterampilan yang kurang didapatkan dari pendidikan sekolah. Contohnya: private, les, training
c.       Pendidikan Luar Sekolah sebagai Complement dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan yang kurang atau tidak dapat diperoleh di dalam pendidikan sekolah. Contohnya: Kursus, try out, pelatihan dll
Itulah beberapa karakteristik yang mejadikan pendidikan luar sekolah ini tetap ada eksistensinya dari dulu hingga saat sekarang bahkan kita pelajari sebagai bekal kehidupan kita pada masa yang akan datang.

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A.      Simpulan  
1.    Pendidikan luar sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah diluar sekolah, dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan, maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.
2.      Asal-usul pendidikan luar sekolah dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu :
-        Pengaruh pendidikan informal
-        Pengaruh tradisi dimasyarakat
-        Pengaruh agama
3.      Sejarah pendidikan luar sekolah terbentuk dari 5 (lima) aspek yaitu :
-        Aspek pelestarian budaya
-        Aspek teoritis
-        Dasar pijakan
-        Aspek kebutuhan terhadap pendidikan
-        Keterbatasan lembaga pendidikan sekolah
4.      Faktor pendorong pendidikan non formal yaitu :
-        Para praktisi di masyarakat
-        Para pengkritik terhadap pendidikan sekolah
-        Para perencana pendidikan untuk pembangunan di tingkat internasional
5.      Karakteristik pendidikan luar sekolah yaitu :
-        Pendidikan luar sekolah sebagai subtitle
-        Pendidikan luar sekolah sebagai suplement
-        Pendidikan luar sekolah sebagai complement
B.       Saran
Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Hal ini sangat membantu karena sebagai acuan dan tolak ukur demi kemajuan dimasa yang akan datang. Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik berupa sumbangan moril maupun materil.
  
DAFTAR PUSTAKA

H. D. sudjana. 2000. Pendidikan luar sekolah : wawasan, sejarah perkembangan, falsafah & teori pendukung, serta asas. Falah production. Bandung
http://fidanurlaili.wordpress.com/2010/11/28/pendidikan-luar -sekolah/ . Senin 12 november 2012. 11.30 WIB